ATAMBUA, Program NTT Bangkit yang dicanangkan oleh Gubernur – Wakil Gubernur Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) Periode 2019-2023, menargetkan pada akhir tahun 2023 Pertumbuhan Ekonomi di Provinsi NTT mencapai 6,5 persen. Salah satunya didukung oleh sub sektor peternakan yang menargetkan populasi sapi mencapai 2 juta ekor melalui pengembangan Breeding Farm dan Industri Pengolahan Pakan Ternak. Target tersebut dikemukakan Gubernur NTT, Victor Bungtilu Laiskodat dalam sambutan tertulis yang bacakan oleh Wakil Bupati Belu, Drs. J.T. Ose Luan saat membuka Sosialisasi dan Advokasi Pengendalian Sapi Betina Produktif di Hotel King Star Atambua, Kamis (11/7/2019).
Gubernur
Laiskodat mengatakan, bagi masyarakat NTT, ternak adalah martabat dan alat
komunikasi sosial budaya dihampir semua ritual yang ada dalam adat istiadat
masyarakat setempat.
“Namun saat ini, fungsi sosial budaya ternak sudah semakin bergeser ke
arah fungsi ekonomis yakni sebagai sumber pendapatan; modal menyekolahkan anak;
modal konsumtif dan sebagai tenaga kerja di sawah/ladang atau angkutan
barang,” ungkapnya.

Jelas Victor, ternak sapi menjadi komoditas ekspor utama dari NTT. Setiap tahun, NTT mengantarpulaukan sapi potong sebanyak 60 ribu hingga 70 ribu ekor dan kerbau potong 3 ribu hingga 4 ribu ekor pertahun. Rata-rata arus uang masuk ke NTT dari sapi potong sebesar Rp. 450 milyar pertahun.
“Lebih dari 90 persen devisa perolehan dari Sapi Bali Timor dan sisanya Sumba Ongole. Oleh karena itu, perlu dilakukan langkah kebijakan strategis agar keberlangsungan produksi dan produktifitas ternak sapi dapat terus terjaga berpuluh-puluh tahun ke depan. Salah satu langkah yang dilakukan adalah pengendalian pemotongan sapi dan kerbau betina produktif, sebagai “mesin biologis” penghasil ternak sapi yang digunakan untuk keperluan adat dan sosial lainnya, ekonomi dan untuk konsumsi,” terangnya.
Sejak tahun 2017, kata Victor bahwa telah dilakukan
kegiatan Sosialisasi Advokasi Pengendalian Pemotongan Betina Produktif
mengikutsertakan jajaran Polda NTT, Polres Belu, Satpol PP Provinsi NTT, Satpol
PP Belu serta Dinas Peternakan Provinsi dan Kabupaten kepada peternak,
penjagal, pedagang ternak antar pulau dan Pemerintah Kabupaten/Kota.
“Kegiatan ini menampakkan hasil yang signifikan, dimana jumlah pemotongan
betina produktif menurun drastis. Bahkan di beberapa kabupaten tidak ada lagi
pemotongan betina produktif, kecuali yang dipotong paksa karena alasan
cacat/patah kaki,” katanya.
Penegakkan
UU Nomor 18 tahun 2009 Juncto UU Nomor 41 tahun 2014 tentang Peternakan dan
Kesehatan Hewan Pasal 86 menyangkut sanksi pidana 1 – 3 tahun dan denda dengan
nominal Rp.100 – 300 Juta turut berperan penting dalam menimbulkan efek
jera bagi para pelaku.
“Diharapkan kedepan, populasi sapi di NTT dapat mencapai 2 juta ekor pada
tahun 2023 yang secara langsung akan meningkatkan pendapatan peternak,
meningkatkan PAD dan menjadikan NTT sebagai daerah pengekspor sapi terbesar di
Indonesia. Oleh karena itu, saya mengharapkan pertemuan ini tidak sekedar
mengejar realisasi serapan anggaran semata, namun diharapkan mampu menghasilkan
rencana tindak lanjut yang nyata, yang mampui diimplementasikan bukan hanya di
tingkat atas namun juga di tingkat lapangan yang melibatkan unsur Kepolisian
(Bhabinkamtibmas), Dinas Peternakan (Petugas RPH, Resort Peternakan Kecamatan)
dan Satpol PP,” imbuh Gubernur 1 NTT.
Sebelumnya,
Ketua Panitia, drh. Henderina Lerokaka menjelaskan,
Kegiatan Pengendalian Pemotongan Sapi Betina Produktif merupakan salah satu
kegiatan dari Program Upaya Khusus Percepatan Populasi Sapi dan Kerbau Bunting
(UPSUS SIWAB) yang tertuang dalam Permen Pertanian Nomor 48 Tahun 2016.
“Program ini menjadi penting dari upaya pemerintah melakukan percepatan peningkatan populasi sapi dan kerbau. Pentingnya pelaksanaan pengendalian pemotongan betina produktif ini dalam upaya untuk mendukung pelaksanaan pengawasan pengendalian pemotongan betina produktif,” ujar Henderina.
Pada tahun 2017, ungkap Lerokaka bahwa, Dirjen Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian RI melakukan kerjasama tentang pengendalian pemotongan ternak ruminansia betina produktif. Melalui program ini, upaya pengawasan melalui kerjasama dengan POLRI diharapkan dapat menekan jumlah betina produktif secara signifikan.
“Untuk mewujudkan tercapainya program tersebut, dibutuhkan suatu kerjasama yang baik dan partisipasi semua pihak yang terkait. Oleh sebab itu pertemuan ini dipandang sangat penting sebagai forum dalam menyatukan pemahaman dan persepsi dalam upaya menjalin koordinasi dan kerjasama, dalam menunjang keberhasilan Program Pengendalian Pemotongan Sapi Betina Produktif di NTT, dan khususnya di Kabupaten Belu,” tukasnya.

Henderina melaporkan bahwa, pelaksanaan kegiatan ini bertujuan untuk menyatukan persepsi bersama antara Pemerintah dan semua stakeholder terkait dalam mengendalikan pemotongan betina produktif.
“Selain itu membahas langkah strategis dalam pengendalian pemotongan sapi betina produktif yang dapat dilaksanakan oleh masing-masing perangkat daerah/wilayah sesuai tugas pokoknya,” pungkasnya.
Ikut hadir dalam acara ini, Direktur Kesehatan Masyarakat Veterine, Direktoral Jenderal Peternakan dan Keswan Kementerian Pertanian RI, drh. Hasto Yulianto, MM, Kepala Dinas Peternakan Provinsi NTT, Ir. Dani Suhadi, Perwakilan dari Polda NTT dan Pimpinan BUMN serta para peserta sosialisasi.(pkpsetdabelu/michaello).